Kamis, 11 Agustus 2011

Ilmu Jarhi wa al Ta'dil


BAB II
PEMBAHASAN

A.      DEFINISI
Lafadz “jarhi” menurut muhadditsin ialah sifat yang dapat mencacatkan keadilan dan kedhabitanya.
Menjarhi atau mentarjih seorang rawi berarti menyifati seorang rawi dengan sifat-sifat yang dapat menyebabkan kelemahan atau tertolak apa yang diriwayatkan nya.
Menta’dil seorang rowi berarti memberikan sifat-sifat terpuji kepada seorang rawi hingga apa yang diriwayatkanya dapat diterima .
Ilmu jarhi wa ta’dil berarti ilmu yang membahas tentang pemberian kritik  adanya aib (cacat) atau memberikan pujian pujian adil kepda seorang rawi

B.       FAIDAH ILMU JARHI WA TA’DIL
Faedah mengetahui ilmu jarhi ma ta’dil ialah untuk menetapkan apakah periwayatan seorang rawi diterima ataukah ditolak. Apabila  seorang rowi sudah di tarjih sebagai rawi yang cacat maka periwayatanya ditolak dan apabilah seorang rawi dita’dil sebagi orang yang adil maka periwayatanya diterima.

C.      Jalan Untuk Mengetahui Keadilan Dan Kecacatan Rawi Dan Masalah-Masalahnya
Untuk mengetahui keadilan rawi ada 2 jalan yaitu:
a.         Bi-Syuhroh (karena terkenal keadilanya) di kalangan ahli ilmu  seperti: Anas bin Malik, Sufyan Ats-Tsauri, Syu’bah bin Al-Hajjaj, Asy-Syafi’I, Ahmad dan lain sebagainya.
b.         Pujian dari orang yang adil (tazkiyah)  terhadap orang yang tidak diketahui keadilanya sebelumnya.

  1. Syarat-Syarat bagi Kritikus Hadis / Penta’dil (Mu’addil)  dan Pentarjih (Jarih)
a)             Berhubungan dengan karakter pribadi antara lain
1.        Adil
2.        Tidak bersikap fanatic terhadap suatu aliran/ madzhab yang dianutnya
3.        Tidak bersikap bermusuhan dengan perawi yang sedang dikritiknya sekalipun berbeda madzhab
b)             Berhubungan dengan kualitas keilmuan para kritikus hadits
Dalam hal ini para kritikus harus memiliki ilmu pengetahuan yang luas dan mendalam, terutama dalam bidang/ masalah
1.        Ajaran keislaman dan bahasa arab
2.        Hadits dan Ilmu Hadits
3.        Menguasai Ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh orang yang sedang dikritiknya
4.        Menguasai hal-hal yang berhubungan dengan adat istiadat yang sedang berlaku
5.        Menguasai sebab-sebab yang melatarbelakangi munculnya sifat-sifat yang menonjol atau tercela yang dimiliki oleh perawi yang sedang dikritik

  1. Norma-norma Kritikus Hadits
Dalam pengajuan kritikan hadits terdapat Norma-norma khusus yang mengikat pada kritikus, norma ini diterapkan oleh ulama dengan tujuan untuk memelihara obyektifitas penilaian perawi secara bertanggung jawab, serta memelihara akhlaq mulia menurut nilai-nilai Islam. Diantara norma-norma tersebut adalah;
a.         Kritikus hadits tidak hanya mengemukakan sifat tercela yang dimiliki perawi, tetapi harus mengemukakan juga sifat terpuji perawi yang dikritiknya.
b.         Sifat-sifat terpuji yang dikemukakan kritikus dapat berupa penjelasan secara global, dan tidak harus dirinci satu persatu.
c.         Sifat-sifat tercela dikemukakan secara rinci tetapi tidak boleh dinyatakan secara berlebihan, sehingga dapat diketahui secara jelas apakah ketercelaan itu berkaitan dengan keadilan  atau ke-dhabitanperawi.
d.        Pengungkapan penjelasan sifat-sifat tercela, harus dapat terkendali secara wajar, agar kritikan tersebut tidak menimbulkan keragu-raguan serta nama baik perawi tidak dirusakkan oleh hal yang tidak ada hubungannya dengan periwayatan hadits

  1. Jumlah orang yang di pandang cukup untuk menta’dil dan mentarjih rawi-rawi
Terdapat perselisihan pendapat:
a)         Pedapat fuqoha’ minimal 2 orang  baik dalam syahadah maupun riwayah
b)        Cukup 1 orang dalam riwayah dan untuk syahadah tidak dibatasi bilangan karena bilangan tidak jadi syarat dalam penerimaan hadits.
  1. Pertentangan antara jarhi dan ta’dil
Maksudnya jika ada pertentangan sebagian ulama’ menta’dil dan sebagian yang lain mentakhrij maka ada 4 pendapat:
a.              Ta’dil harus didahulukan dari jarhiالتعديل مقدم على الجرح 
Karena rojih bisa salah dalam mencacatkan rowi apalagi kalau ada rasa benci maka pasti sebab pentarjihanya bersifat sebyektif berbeda dengan mu’addil dalm menilai rowi mereka lebih mendahulukan kelogisan atau obyektif
b.             Jarhi harus didahulukan secara mutlak الجرح مقدم على التعديل
Dengan alas an
1)      Kritikus yang menyatakan ketercelaan lebih paham terhadap pribadi perawi
2)      Yang menjadi dasar untuk memuja adalah sangkaan baik bukan catatan
c.              Bila jumlah mu’addilnya lebih banyak dari rojih maka didahulukan ta’dil
اذا تعارض الجارح والمعدل فالحكم للمعدل الا اذا ثبت الجرح المقسر
Jika terjadi pertentangan antara pujian dan celaan, maka yang dimenangkan adalah pujian, kecuali celaan disertai dengan bukti atau penjelasan tentang sebab-sebabnya
d.             Pengkritik yang dhaif
اذاكان الجارح ضعيفا فلا يقبل جرحه للثقه
Jika kritikus yang mengemukakan adanya ketercelaan itu termasuk kelompok orang dhaif, maka kritikannya terhadap orang yang terpercaya tidak diterima
e.              Kesamaan Nama
لا يقبل الجرح الا بعد التشبت خشية الا شياه في المجروحين
Ketercelaan tidak bisa diterima kecuali setelah ditetapkan (diteliti secara cermat) lantaran khawatir terjadi kesamaan perihal orang-orang yang dicelanya.
f.              Permusuhan
الجرح الناشىء عن عداوة دنيوية لا يعتدبه 
Ketercelaan yang dikemukakan oleh orang yang mengalami permusuhan dalam masalah duniawi itu tidak perlu diperhatikan

  1. Susunan lafadz-lafadz untuk menta’dil dan mentarjih rawi
a.              Untuk menta’dil ada 6 tingkatan lafad yang digunakan ( Ibnu Hajar):
1)             Berbentuk mubalaghah atau af’alut tafdhil yang setara maknanya. Contoh :
 أوثق الناس     (Orang yang paling tsiqoh)
أثبت الناس حفظا وعدالة    (orang yang paling mantap hafalan dan keadilanya)
إليه المنتهي فى الثبت (orang yang paling top keteguhan hati dan lidahnya)
ثقة فوق الثقة    (orang yang tsiqoh melebihi orang yang tsiqoh)

2)             Berbentuk pengulangan lafadz yang sama atau dalam maknanya saja, yang mengandung arti keterpercayaan. Contoh: Lafzhi
ثبت ثبت    (Orang yang teguh lagi teguh)
ثقة ثقة     (orang yang tsiqoh lagi tsiqoh)
حجة حجة  (orang yang ahli lagi peta lidahnya)
                               Contoh : Maknawi
ثبة ثقة     (orana yang teguh lagi tsiqoh)
حافظ حجة (orang yang hafidz lagi peta lidahnya)
ضابط متقن(orang yang kuat ingatan lagi meyakinkan ilmunya )

3)             Menggunakan Lafadz yang mengandung arti kuat ingatan. Contoh:
 ثبت  (orang yang teguh hati dan lidahnya )
متقن (orang yang meyakinkan ilmunya)
ثقة   (orang yang tsiqoh)
حافظ (orang yang kuat hafalanya)
حجة (orang yang petah lidahnya)

4)             Menggunakan Lafadz yang yang menunjukkan adanya kejujuran, keadilan dan kedhabitan perawi, tetapi tidak sampai menunjukkan adanya kekuatan dalam tsiqqoh. Contoh:
صدوق     ( ng yang sangat jujurora)
مأمون(orang yang dapat memegang amanat)
لابأس به   (orang yang tidak cacat)

5)             Menggunakan lafadz yang menunjukkan kejujuran rawi tetapi tidak sampai pada kedhabitannya. Contoh:
محله الصدق(orang yang berstatus jujur)
جيد الحديث(orang yang baik haditsnya)
حسن الحديث    (orang yang bagus haditsnya)
مقارب الحديث   (orang yang haditsnya berdekatan dengan hadits-hadits orang lain yang tsiqoh)
6)             Menggunakan lafadz yang menunjukkan arti mendekati cacat. Seperti sifat-sifat diatas yang diikuti lafadz “insyaAllah”, atau ditashghitkan, atau lafadz tersebut dikaitkan dengan pengharapan. Sehingga peringkatnya dinilai paling rendah. Contoh:
صدوق إن شاءالله     (orang yang jujur, kalau Allh menghendaki)
فلان أرجوا بأن لابأس به   (orang yang diharapkan tsiqoh)
فلان صويلح     (orang yang sedikit kesalehanya)
فلان مقبول حديثه     (orang yang diterima haditsnya)

Dari penjelasan diatas disimpulkan, tiga peringkat teratas dapat dijadikan sebagai hujjah. Sedang pada tingkat ke 4 dan ke 5, tidak dapat dijadikan hujjah, dikarenakan ungkapannya tidak mengandung kedhabitan. Sekalipun hadits mereka dapat didokumentasikan sebagai I’tibar atau bahan kajian ulang. Adapun peringkat ke 6, hukumnya lebih rendah lagi dari peringkat sebelumnya.


b.             Untuk mentajrih hadits ada 6 tingkatan lafadz yang digunakan:
1)             Menggunakan lafadz-lafadz yang dekat dengan sifat adil tapi menunjukkan kelemahanya. Contoh:
ضعف حديثه     (ditsnyaorang yang didho’ifkan ha)
فلان مقال فيه    (orang yang diperbincangkan)
فلان فيه خلف   (orang yang disingkiri)
فلان لين   (orang yang lunak)
فلان ليس با لحجة     (orang yang tidak dapat digunakan hujjah haditsnya)
فلان ليس با لقوى     (orang yang tidak kuat)
2)             Menunjukkan kelemahan dan kacaunya hafalan rowi. Contoh:
فلان لايحتج به  (orang yang tidak dapat dibuat hujjah hadtsnya)
فلان مجهول     (orang yang tidak dikenal identitasnya)
فلان منكر الحديث     (orang yang munkar haditsnya)
فلان مضطرب الحديث (orang yang kacau haditsnya)
فلان واه   (orang yang banyak menduga-duga)
3)             Menunjukkan amat lemahnya rowi. Contoh:
مطرح الحديث   (g yang dilempar haditsnyaoran)
فلان ضعيف     (orang yang lemah)
فلان مردود الحديث    (orang yang ditolak hadtsnya)
4)             Menunjukkan tuduhan dusta, bohong atau yang lainnya, Contoh:
فلان متهم بالكذل(orang yang dituduh bohong)
أو متهم بالوضع (orang yang dituduh dusta)
فلان فيه النظر   (orang yang perlu diteliti)  
فلان ساقط (orang yang gugur)
فلان ذاهب الحديث     (orang yang hadtsnya telah hilang)
فلان متروك الحديث   (orang yang ditinggal haditsnya)
5)             Menggunakan lafadz –lafadz sighot mubalaghoh  menunjukkan amat cacatnya rowi.
Contoh:
كذاب (orang yang pembohong)
وضاع(orang yang pendusta)
دجال (orang yang penipu)
6)             Menggunakan lafadz –lafadz af’alut tafdhil atau ungkapan-ungkapan lain yang serupa denganya menunjukkan amat cacatnya rowi. Contoh:
أوضع الناس     (orang yang paling dusta)
أكذب الناس(orang yang paling bohong)
إليه المنتهى فى الوضع(orang yang paling top kebohonganya)
Hadits yang masuk pada peringkat pertama dan kedua tidak dapat dijadikan hujjah, tetapi dapat didokumentasikan sebagai bahan penelitian ulang.
Sedang pada peringkat selanjutnya, Imam al Syakhawi mengatakan “tidak seorangpun dari mereka, haditsnya dapat dijadikan hujjah, didokumentasikan atau dijadikan bahan penelitian ulang.
Dengan demikian klasifikasi peringkat ketercelaannya sebagai berikut;
1.                  الكذب                   yaitu dikenal suka dusta
2.                   التهمة بالكذب     yaitu : diduga kuat telah berdusta
3.                   فحش غلطه        yaitu : riwayat yang salahnya lebih banyak daripada yang benar
4.                  الغفله عن الاتقان   yaitu; lupanya lebih menonjol daripada hafalannya
5.                  الفسق                    yaitu; bersikap fasiq, tetapi tidak sampai menjadi kafir
6.                  الوهم                     yaitu; diduga kuat riwayatnya mengandung unsure-unsur kekeliruan
7.                  مخالفه عن الثقه     yaitu; riwayatnya berlawanan dengan yang terpercaya
8.                  الجهاله                  yaitu; kepribadian dan keadaan perawi tidak dikenal dengan jelas
9.                  البدعه                   yaitu; berbuat bid’ah yang mengarah pada kefasikan, tetapi tidak sampai menjadikannya kafir.
10.              سوءالحفظ             yaitu; hafalannya banyak yang salah

D.      KITAB-KITAB ILMU JARHI WA TA’DIL
1.         Ma’rifatur rijal, karya Yahya Ibni Ma’in, merupakan kitab pertama yang sampai pada kita, juz I buku tersebut berupa manuskrip ( tulisan tangan) berada di Darul Kutub Adh-Dhahiriyah
2.         Ad-Dhu’afa’, karya Imam Muhammad bin Isma’il Al-Bukhori . Dicetak di Hindia tahun 320 H
3.         At-Tsiqat, karya Abu Hatim bin Hibban Al-Busty (wafat tahun 304 H). Ingat bahwa beliau ini sangat muda menta’dil rawi jadi hati-hati atas pendapatnya. Naskah asli kitab ini ditemukan di Darul Kutub Al-Mishriyah dengan tidak lengkap.
4.         Al-jarhu wa ta’dil, karya Abdurrahman bin Abi Hatim Ar-Razy (240-326 H), kitab ini merupakan kitab yang terbesar dan mempunyai banyak faidah bagi kita. Terdiri dari 4 jilid yang memuat 18.055 rawi,  sering di cetak berkali-kali dan terakhir dicetak di India pada tahun 1373 H menjadi 9 jilid, 1 jilid I dijadikan mukaddimah dan jilid yang lainya dijadikan 2.
5.         Mizanul I’tidad, karya Imam Syamsuddin Muhammad Ad-Dzahabi (673-748), terdi dari 3 jilid, sudah dicetak berkali-kali dan terakhir dicetak di Mesir tahun 1325 H mencakup 10.907oran rijalus sanad.
6.         Lisanul Mizan, karya Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalany (773-852 H) memuat 14.343 rijalus sanad, dicetak di India pada th 1329-1331 dalam 6 jilid.




BAB III
AL-JARH WAT TA’DIL ABAD MODERN

Sesungguhnya ilmu al-jarh wat ta’dil adalah khusus untuk para perawi yang bermasalah dalam periwayatan haditsnya. Dan apa yang dipraktikkan oleh para ulama salaf dalam hal ini sama sekali bukan ghibah. Ketika hadits-hadits telah dibukukan dan masa para perawi telah berlalu, maka selesailah sudah al-jarh wat ta’dil. Ia sama sekali tidak bisa diterapkan pada seorang muslim yang bukan perawi, apalagi diterapkan terhadap para ulama dan syuhada yang sangat dimuliakan Allah dan dicintai oleh kaum muslimin.
Adapun beberapa pendapat para ulama tentang al-jarh wat ta’dil adalah sebagai berikut;
1)      Syaikh Shalih bin Muhammad Al-Luhaidan berkata, “Al-Jarh wat ta’dil telah habis masanya. Ia sudah tidak ada lagi sekarang.”
2)      Syaikh Abdul Aziz bin Abdilah Ar-Rajihi berkata, “Ilmu al-jarh wat ta’dil suah selesai, karena ia sekarang telah terbukukan rapi dalam berbagai kitab. Begitu pula dengan hadits-hadits Nabi, ia telah terbukukan dalam berbagai kitab shahih, sunan, musnad, dan mu’jam…sehingga sekarang tidak ada lagi al-jarh wa ta’dil. Dan, al-jarh wat ta’dil itu memang khusus untuk para ahli hadits.”
3)      Syaikh Hasan bin Falah Al-Qahthani berkata, “Besar sekali bedanya antara ilmu al-jarh wat ta’dilyang dipraktikkan oleh para ulama salaf dalam kitab-kitab dan karya-karya mereka, dengan pelecehan terhadap para ulama dan da’I, pencemaran nama baik, dan penyebaran aib serta kesalahan seseorang dengan mengatasnamakan al-jarh wat ta’dil yang terjadi sekarang ini.”
4)      Syaikh Ridha Ahmad Shamadi berkata, “Tidak usah dijarh orang yang tidak perlu dijarh, seperti para ulama yang periwayatan hadits mereka tidak dibutuhkan.”
5)      Ibnul Murabith (w. 485 H) berkata, “Hadits-hadits telah dibukukan dan tajrih pun sudah tidak ada faedahnya lagi.”
6)      Syaikh Athiyah bin Muhammad Salim berkata, “… Dan tidak termasuk dalam hal itu apa yang disebut al-jarh wat ta’dil. Seperti orang yang mengatakan; si fulan mudallis, atau si fulan sifatnya begini… Sebab, yang semacam ini terdapat faedah di dalamnya bagi kaum muslimin, agar mereka berhati-hati terhadap hadits-hadits yang diriwayatkannya.”



BAB IV
PENUTUP

a.              Kesimpulan
1.             Ilmu Jarhi adalah ilmu yang membahas masalah kecacatan para erawi hadits, misalnya pada sisi keadilan dan kekuatan hafalan (kedhabitan)-nya.
2.             At Ta’dil adalah system pengungkapan sifat-sifat asli dan murni yang terdapat pada diri perawi, sehingga tampak dengan jelas keadilan pribadinya dan karenanya riwayat yang disampaikan dapat diterima.
3.             Faedah mengetahui ilmu jarhi ma ta’dil ialah untuk menetapkan apakah periwayatan seorang rawi diterima ataukah ditolak.

b.             Saran
1.             Setiap diri muslim terlebih lagi para pelajar haruslah mulai mengerti dan memahami tentang Ilmu Jarhi Wa Al Ta’dil, agar dapat mengetahui hadits mana yang diterima dan hadits mana yang tertolak dikarenakan latar belakang perawinya.
2.             Adapun mengenai perkembangan pemikiran manusia, terdapat banyak sekali yang ikut campur dalam ilmu ini, sehingga tidak salah juga bila para ulama besar secara tidak langsung menghentikan “menutup” pembahasan ilmu tersebut, karena sudah langka “tidak ada” yang menandingi kehebatan para muhadditsin terdahulu.


Demikian sedikit penjelasan saya tentang Salah Satu cabang Ilmu Hadits yaitu Ilmu Jarhi wa al Ta'dil. Bagi rekan-rekan yang ingin menjadikannya koleksi silahkan klik link download dibawah ini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar